Perkembangan Fotografi
di Indonesia
Fotografi secara umum baru dikenal sekitar 150 tahun
lalu. Ini jika kita membicarakan fotografi yang menyangkut teknologi. Namun,
jika kita bicarakan masalah gambar dua dimensi yang dihasilkan dari peran
cahaya, sejarah fotografi sangatlah panjang. Dari yang bisa dicatat saja,
setidaknya “fotografi” sudah tercatat sebelum Masehi. Fotografi merupakan ilmu
yang bertujuan untuk mendalami atau mempelajari tentang foto dan bagaimana
menghasilkan foto yang baik dan dapat dinikmati oleh para penikmat
foto. Foto identik dengan aktifitas atau kegiatan yang berkaitan dengan
momen-momen yang bisa menjadikan sebuah foto itu lebih berarti. Dengan foto,
suatu kegiatan atau aktifitas yang dianggap khusus akan lebih berarti jika terdapat
sisa-sisa kenangan atau sedikit memori yang dapat mengingatkan kita akan pada
suatu kejadian atau hal menarik yang pernah kita alami sebelumnya.
Siapa sih
Fotografer pertama Indonesia?
Kassian
Cephas (15 Februari 1844 – 1912) dapat dianggap sebagai pelopor fotografi Indonesia.
Ia adalah seorang pribumi yang kemudian diangkat anak oleh pasangan Adrianus
Schalk dan Eta Philipina Kreeft. Nama Kassian Cephas mulai terlacak dengan
karya fotografi tertuanya buatan tahun 1875.
Cephas mulai
bekerja sebagai fotografer kraton pada masa kekuasaan Sultan Hamengkubuwono
VII. Karena kedekatannya dengan pihak kraton maka ia bisa memotret momen-momen
khusus yang hanya diadakan di kraton semisal tari-tarian untuk kepentingan buku
karya Groneman.
Sultan
Hamengku Buwono VII karya Kassian Cephas
Cephas juga
membantu pemotretan untuk penelitian monumen kuno peninggalan zaman Hindu-Jawa
yaitu kompleks Candi Loro Jonggrang di Prambanan yang dilakukan oleh
Archaeologische Vereeniging di Yogyakarta. Proyek ini berlangsung tahun
1889-1890. Dalam bekerja, Kassian Cephas banyak dibantu Sem, anak laki-lakinya
yang paling tertarik pada dunia fotografi seperti ayahnya. Kassian Cephas
memotret sementara Sem menggambar profil bangunannya.
Ia juga
membantu memotret untuk lembaga yang sama ketika dasar tersembunyi Candi
Borobudur mulai ditemukan. Ada sekitar 300 foto yang dibuat Cephas untuk
penggalian ini. Pemerintah Belanda mengalokasikan dana 9000 gulden untuk
penelitian ini. Cephas dibayar 10 gulden per lembar fotonya. Cephas mengantongi
3000 gulden (sepertiga dari seluruh uang penelitian). Jumlah yang sangat besar
untuk ukuran waktu itu. Cephas sendiri sudah sejak tahun 1888 memulai prosedur
untuk mendapatkan status “gelijkgesteld met Europeanen” atau “disetarakan
dengan kaum Eropa” untuk dirinya sendiri dan anak-anak laki-lakinya: Sem dan
Fares; suatu prosedur yang dimungkinkan oleh UU Kewarganegaraan Hindia Belanda
pada masa itu.
Tahukah
kalian sejarah perkembangan fotografi di Indonesia sekarang ini ?
Berawal dari kedatangan seorang pegawai kesehatan Belanda pada tahun 1841 , atas perintah Kementerian Kolonial, mendarat di Batavia dengan membawa dauguerreotype. Juriaan Munich, nama ambtenaar itu, diberi tugas “to collect photographic representations of principal views and also of plants and other natural objects” (Groeneveld: 1989). Tugas ini berakhir dengan kegagalan teknis. Di Holand Tropika, untuk menyebut wilayah mereka di daerah tropis, Munich kelabakan mengendalikan sensitivitas cahaya plat yang dibawanya, dihajar oleh kelembapan udara yang mencapai 90 persen dan terik matahari yang tegak lurus dengan bumi. Foto terbaik yang dihasilkannya membutuhkan waktu exposure 26 menit.
Terlepas dari kegagalan percobaan pertama di atas, bersama mobil dan jalanan beraspal, kereta api dan radio, kamera menjadi bagian dari teknologi modern yang dipakai Pemerintah Belanda menjalankan kebijakan barunya. Penguasaan dan kontrol terhadap tanah jajahan tidak lagi dilakukan dengan membangun benteng pertahanan, penempatan pasukan dan meriam, tetapi dengan membangun dan menguasai teknologi transportasi dan komunikasi modern. Dalam kerangka ini, fotografi menjalankan fungsinya lewat pekerja administrative colonial, pegawai pengadilan, opsir militer dan misionaris.
Latar inilah yang menjelaskan, mengapa selama 100 tahun keberadaan fotografi di Indonesia (1841-1941) penguasaan alat ini secara eksklusif berada di tangan orang Eropa, sedikit orang China dan Jepang. Survei fotografer dan studio foto komersial di Hindia Belanda 1850-1940 menunjukkan dari 540 studio foto di 75 kota besar dan kecil, terdapat 315 nama Eropa, 186 China, 45 Jepang dan hanya 4 nama “lokal”: Cephas di Yogyakarta, A Mohamad di Batavia, Sarto di Semarang, dan Najoan di Ambon.
Sedangkan bagi penduduk lokal, keterlibatan mereka dengan teknologi ini adalah sebagai obyek terpotret, sebagai bagian dari properti kolonial. Mereka berdiri di kejauhan, disertai ketakjuban juga ketakutan, melihat tanah mereka ditransfer dalam bidang dua dimensi yang mudah dibawa dan dijajakan. Kontak langsung mereka dengan produksi fotografi adalah sebagai tukang angkut peti peralatan fotografi. Pemisahan ini berdampak panjang pada wacana fotografi di Indonesia di kemudian hari, di mana kamera dilihat sebagai perekam pasif, sebagai teknologi yang melayani kebutuhan praktis.
Dibutuhkan hampir seratus tahun bagi kamera untuk benar-benar sampai ke tangan orang Indonesia. Masuknya Jepang tahun 1942 menciptakan kesempatan transfer teknologi ini. Masuknya Jepang pada 1942 menciptakan kesempatan transfer teknologi ini. Karena kebutuhan propagandanya, Jepang mulai melatih orang Indonesia menjadi fotografer untuk bekerja di kantor berita mereka, Domei. Mereka inilah, Mendur dan Umbas bersaudara, yang membentuk imaji baru Indonesia, mengubah pose simpuh di kaki kulit putih, menjadi manusia merdeka yang sederajat. Foto-foto mereka adalah visual-visual khas revolusi, penuh dengan kemeriahan dan optimisme, beserta keserataan antara pemimpin dan rakyat biasa. Inilah momentum ketika fotografi benar-benar “sampai” ke Indonesia, ketika kamera berpindah tangan dan orang Indonesia mulai merepresentasikan dirinya sendiri.
Berawal dari kedatangan seorang pegawai kesehatan Belanda pada tahun 1841 , atas perintah Kementerian Kolonial, mendarat di Batavia dengan membawa dauguerreotype. Juriaan Munich, nama ambtenaar itu, diberi tugas “to collect photographic representations of principal views and also of plants and other natural objects” (Groeneveld: 1989). Tugas ini berakhir dengan kegagalan teknis. Di Holand Tropika, untuk menyebut wilayah mereka di daerah tropis, Munich kelabakan mengendalikan sensitivitas cahaya plat yang dibawanya, dihajar oleh kelembapan udara yang mencapai 90 persen dan terik matahari yang tegak lurus dengan bumi. Foto terbaik yang dihasilkannya membutuhkan waktu exposure 26 menit.
Terlepas dari kegagalan percobaan pertama di atas, bersama mobil dan jalanan beraspal, kereta api dan radio, kamera menjadi bagian dari teknologi modern yang dipakai Pemerintah Belanda menjalankan kebijakan barunya. Penguasaan dan kontrol terhadap tanah jajahan tidak lagi dilakukan dengan membangun benteng pertahanan, penempatan pasukan dan meriam, tetapi dengan membangun dan menguasai teknologi transportasi dan komunikasi modern. Dalam kerangka ini, fotografi menjalankan fungsinya lewat pekerja administrative colonial, pegawai pengadilan, opsir militer dan misionaris.
Latar inilah yang menjelaskan, mengapa selama 100 tahun keberadaan fotografi di Indonesia (1841-1941) penguasaan alat ini secara eksklusif berada di tangan orang Eropa, sedikit orang China dan Jepang. Survei fotografer dan studio foto komersial di Hindia Belanda 1850-1940 menunjukkan dari 540 studio foto di 75 kota besar dan kecil, terdapat 315 nama Eropa, 186 China, 45 Jepang dan hanya 4 nama “lokal”: Cephas di Yogyakarta, A Mohamad di Batavia, Sarto di Semarang, dan Najoan di Ambon.
Sedangkan bagi penduduk lokal, keterlibatan mereka dengan teknologi ini adalah sebagai obyek terpotret, sebagai bagian dari properti kolonial. Mereka berdiri di kejauhan, disertai ketakjuban juga ketakutan, melihat tanah mereka ditransfer dalam bidang dua dimensi yang mudah dibawa dan dijajakan. Kontak langsung mereka dengan produksi fotografi adalah sebagai tukang angkut peti peralatan fotografi. Pemisahan ini berdampak panjang pada wacana fotografi di Indonesia di kemudian hari, di mana kamera dilihat sebagai perekam pasif, sebagai teknologi yang melayani kebutuhan praktis.
Dibutuhkan hampir seratus tahun bagi kamera untuk benar-benar sampai ke tangan orang Indonesia. Masuknya Jepang tahun 1942 menciptakan kesempatan transfer teknologi ini. Masuknya Jepang pada 1942 menciptakan kesempatan transfer teknologi ini. Karena kebutuhan propagandanya, Jepang mulai melatih orang Indonesia menjadi fotografer untuk bekerja di kantor berita mereka, Domei. Mereka inilah, Mendur dan Umbas bersaudara, yang membentuk imaji baru Indonesia, mengubah pose simpuh di kaki kulit putih, menjadi manusia merdeka yang sederajat. Foto-foto mereka adalah visual-visual khas revolusi, penuh dengan kemeriahan dan optimisme, beserta keserataan antara pemimpin dan rakyat biasa. Inilah momentum ketika fotografi benar-benar “sampai” ke Indonesia, ketika kamera berpindah tangan dan orang Indonesia mulai merepresentasikan dirinya sendiri.
Kemajuan
teknologi memang memacu fotografi dengan sangat cepat. Jika dulu kamera
berukuran sebesar mesin jahit hanya bisa menghasilkan gambar yang tak terlalu
tajam, kini kamera digital yang hanya berukuran sebesar dompet mampu membuat
foto yang sangat tajam seukuran koran. Pada tahun 1880, ditemukan proses cetak half
tone, yang memungkinkan foto dibawa ke dalam surat kabar. Foto pertama yang
ditayangkan adalah foto tambang pengeboran minyak Shantytown karya Henry J
Newton, dan dimuat surat kabar New York Daily Graphic Amerika Serikat,
pada 4 Maret 1880.
Foto Heliografi
dengan subyek pemandangan yang pertama dibuat oleh Joseph Nicéphore Niépce pada tahun 1826.
Boulevard du
Temple, foto Daguerreotype pertama
yang dibuat oleh Daguerre pada sekitar tahun
1838-1839
Foto
berwarna yang pertama dibuat oleh Louis
Ducos du Hauron pada tahun 1877.
Citra
berwarna yang pertama, Maxwell, 1861
Citra hasil
pemindaian komputer digital, 1957
High speed
photography, Muybridge, 1878
Banyak
cabang kemajuan fotografi yang terjadi, tetapi banyak yang mati di tengah
jalan. Foto Polaroid yang ditemukan Edwin Land, umpamanya, pasti sudah
tak dilirik orang lagi karena kini foto digital juga sudah nyaris dapat
langsung jadi. Juga, temuan seperti format film APSS (tahun 1996) yang langsung
mati suri, karena teknologi digital langsung masuk menggeser semuanya.
Apa sih
bedanya Kamrea Digital dengan Kamera analog?
Hingga kini,
perkembangan fotografi terus mengalami peningkatan dan mengalami revolusi
menjadi film-film digital yang yang mutkhir tanpa menggunakan roll film. hingga
masuk dalam tahap era era digital yang dibarengi dengan kemajuan teknologi.
Mungkin kita telah mengenal apa itu kamera digital yang dapat menghasilkan foto
dalam kurun waktu yang singkat.
KAMERA
DIGITAL
Kamera
digital belum mampu menangkap semua warna yang dipantulkan oleh matahari namun
warna yang dihasilkan lebih kontras. Kelemahannya kamrea digital kurang
sensitive.
KAMERA
ANALOG
Kamera
analog sudah hampir mampu menangkap seluruh warna yang diantulkan oleh matahari
dan kamera analog juga cukup sensitive. Dan merekam dengan film negative
berwarna , slide flim positif dan hitam putih.
Siapa aja
yah fotograper Indonesia yang sudah terkenal?
Fotografi di
Indonesia berkembang pesat dan sangat menghasilkan fotografer- fotografer
handal sebagai contoh
Davy Linggar
Anton Ismael
Semakin
berkembangnya era komputerisasi maupun seni fotografi saya harapkan akan banyak
lahir bibit bibit baru yang tidak kalah kerennya dengan fotogrfi. Namun
bagaimanapun juga, fotografi adalah bagian penting dari kebudayaan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar